Definisi
Riba
Secara
literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah)[1]. Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu
al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai
dengan adanya pertukaran kompensasi.[2] Imam Suyuthiy dalam Tafsir
Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam
mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya[3]. Di dalam kitab al-Mabsuuth,
Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu
al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau
tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli).
Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta.
Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak
disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi
konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat.[4] Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah,
disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat tertentu,
sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda
memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya ditunda adalah
riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan[5].
Di dalam
Kitab
Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; menurut
syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum
al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain
au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak
diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu
berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan)[6].
Dalam Kitab
Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; menurut
syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum
al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain
au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak
diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu
berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan,
maupun keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba
nasaa`[7]. Pengertian riba semacam ini juga disebutkan
di dalam Kitab
Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.[8]
Hukum
Riba
Seluruh
‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun
banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya
berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran
dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai
bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al
Baqarah (2): 275].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al
Baqarah (2): 279].
Di dalam
Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ
يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu
dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba),
maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR
Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا
أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا
عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba
itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki
yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan
seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ
سَوَاءٌ
“Rasulullah
saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua
orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR
Muslim)
Di dalam
Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan
Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa
harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan
ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw
bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”.
Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab,
“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh
wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah
riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi,
dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah
berkonsensus mengenai keharaman riba.”[9]
Imam
al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan;
riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman
Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba”
(Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275],
dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna
illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang
memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang
kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan
sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba,
wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim][10]
Imam
al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan;
seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global[11].
Di dalam
Kitab
I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan
termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya,
Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan
penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang
terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan
bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum
khamer.[12] Imam Syarbiniy di dalam Kitab
al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama[13].Mohammad bin Ali bin Mohammad
al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.[14]
Imam
Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan
bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara
global[15]. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir
Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman
riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba
fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan
al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits
shahih[16]. Abu Ishaq di dalam Kitab
al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus,
berdasarkan al-Quran dan Sunnah[17].
Jenis-jenis
Riba
Riba
terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2)
riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.
Riba
Nasii`ah.
Riba
Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk
dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi
atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru.
Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan
perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari
2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah
ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas
keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini
bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi
hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu
baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba
nasii’ah.
Adapun
dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
” Riba
itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu
Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw
bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah,
sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
Riba
Fadlal.
Riba
fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis.
Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila
jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR
Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا
بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ
زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas
dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal;
barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر
دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك
للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
“Dari
Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas
dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan
merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan
kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara
emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)
Dari
Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني
عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده]
فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا
رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه
الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً
بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“
“Sesungguhnya
Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di
Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma
yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua
kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah .
Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu
jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw
bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah
kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan
itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR Muslim).
Riba
al-Yadd.
Riba
yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang.
Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang
telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba
yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا
هَاءَ وَهَاءَ
“Emas
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR
al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا
هَاءَ وَهَاءَ
“Perak
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan
dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“.
[Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
Riba
Qardl.
Riba
qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau
keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba
semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu
ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam.
Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat
yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada
seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput kering, gandum atau
makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah
riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga,
Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun
barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR.
Imam Bukhari]
Hadits
di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi
pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan
adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Pelarangan
riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”.
(Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah
riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan);
jilid xii, hal. 113]
Praktek-praktek
riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang
dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal.
Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba
itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram
dilakukan oleh seorang Muslim. [Syamsuddin Ramadhan An Nawiy- Lajnah
Tsaqafiyyah]
[1] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 6, hal. 7;
Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz 1, hal. 320;
Mohammad Ali As-Saayis, Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, juz 1,
hal. 16; Subulus
Salam, juz 3, 16; al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Abu
Ishaq, Al-Mubadda’,
juz 4, hal. 127; al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, juz 9,
hal. 291; al-Jauharah
al-Nayyiirah, juz 2, hal. 298; Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz
al-Minhaaj, juz 6, hal. 309; Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib,
juz 7, hal.328; Syarh Muntahiy al-Idaraat, juz 5,
hal. 10; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 2, hal. 183;
Imam al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, juz 1, hal. 146;
Imam al-Manawiy, al-Ta’aariif, juz 1, hal. 354; Abu
Ishaq, Al-Mubadda’,
juz 4, hal. 127;
al-Bahutiy, al-Raudl al-Murbi’, juz 2, hal.
106; Kasyaaf
al-Qanaa’, juz 3, hal. 251; Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25; Imam
Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal.
16; Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 5, 273;
[6] Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz 11,
hal. 309; lihat juga Asniy al-Mathaalib, juz 7, hal.
471.